Hubungan Ilmu Hukum Tata Negara dengan Ilmu lainnya
A. Hubungan Antara Hukum Tata Negara dengan Ilmu Politik
Jimly Asshiddiqie dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara Jilid I” menguraikan tentang hubungan Hukum Tata Negara dan Ilmu
Politik dengan mensitir pendapat Barents bahwa tubuh manusia, maka ilmu hukum
tata negara diumpamakan oleh Barent sebagai kerangka tulang belulangnya,
sedangkan ilmu politik ibarat daging-daging yang melekat disekitarnya (het
vless er omheen beziet). Oleh sebab itu, untuk mempelajari hukum tata
negara, terlebih dulu kita memerlukan ilmu politik, sebagai pengantar untuk
mengetahui apa yang ada di balik daging-daging di sekitar kerangka tubuh
manusia yang hendak diteliti. Dalam hal ini, negara sebagai objek studi hukum
tata negara dan ilmu politik juga dapat diibaratkan sebagai tubuh manusia yang
terdiri atas daging dan tulang.
Bagaimanapun juga, organisasi negara itu sendiri
merupakan hasil konstruksi sosial tentang peri kehidupan bersama dalam suatu
komunitas hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, ilmu hukum yang mempelajari dan
mengatur negara sebagai organisasi tidak mungkin memisahkan diri secara tegas
dengan peri kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, menurut Wirjono
Prodjodikoro: “… seorang sarjana hukum, untuk memperdalam pengetahuannya dalam
bidang Hukum Tata Negara, ada baiknya mempelajari juga ilmu sosiologi sebagai
ilmu penunjang (hulpwetenshap) bagi ilmu hukum tata negara”.
Bagi sarjana hukum tata negara, di samping sosiologi,
ilmu sosial lainnya juga sangat penting sebagai penunjang seperti ilmu sejarah,
ilmu politik, ilmu ekonomi, antropologi, dan sebagainya.
Dikarenakan eratnya hubungan antara hukum dan negara di
satu pihak dengan masyarakat pada umumnya, maka studi tentang gejala
kemasyarakatan itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebutuhan, sehingga
melahirkan ilmu sosial pada umumnya. Ilmu yang menyelidiki gejala-gejala
kemasyarakatan pada umumnya disebut sosiologi, dan yang mengkhususkan kajiannya
mengenai gejala kekuasaan disebut ilmu politik, dan demikian pula dengan
cabang-cabang ilmu sosial lainnya.
B. Hukum Tata Negara dan Ilmu Negara
Ilmu Negara atau Staatsleer (bahasa Belanda) atau Staatslehre
(bahasa Jerman) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok dan
pengertian-pengertian pokok mengenai negara dan hukum tata negara. Oleh karena
itu, ilmu negara merupakan ilmu pengantar untuk mempelajari ilmu Hukum Tata
Negara, ilmu Hukum Administrasi Negara, dan juga ilmu Hukum Internasional
Publik. Kedudukannya dapat dibandingkan dengan mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum
yang mengantarkan mahasiswa untuk mempelajjari ilmu hukum publik dan hukum
privat. Sebab, posisinya bersifat prerequisite. Mahasiswa Fakultas Hukum
diharuskan mengambil mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum dan Ilmu Negara lebih
dulu sebelum mengikuti perkuliahan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara. Sebab, dalam perkuliahan Hukum Tata Negara, tidak akan dibahas lagi
mengenai teori asal mula terbentuknya negara, apa tujuan orang bernegara, dan
lain sebagainya, yang sudah dibahas secara tuntas dalam Ilmu Negara.
Dalam ilmu negara yang diutamakan adalah nilai
teoritis-ilmiahnya, sedangkan dalam ilmu Hukum Tata Negara dan ilmu hukum
Administrasi Negara terkait pula dengan norma hukumnya dalam arti positif. Oleh
karena itu, ilmu negara disebut sebagai seinwissenschaft, sedangkan
Hukum Tata Negara dan juga Hukum Administrasi Negara merupakan normwissenschaft.
Demikian pula ilmu hukum pidana, ilmu hukum perdata, ilmu hukum ekonomi, dan
lain sebagainya, sudah dikaitkan dengan persoalan norma hukum yang berlaku di
bidang masing-masing.
Dalam kedudukannya sebagai ilmu pengetahuan pengantar
bagi Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, Ilmu Negara tidak
mempunyai nilai yang praktis seperti halnya dengan Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara. Orang yang mempelajari Ilmu Negara tidak memperoleh hasil
yang dapat langsung dipergunakan dalam praktik. Sedangkan mempelajari Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dapat langsung menghasilkan sesuatu
pengetahuan yang bernilai praktis. Perbedaan ini dapat dilihat dari penggunaan
istilah “ilmu” yang dikaitkan pada Ilmu Negara, sedangkan pada Hukum Tata
Negara (verfassungsrecht) dan Hukum Administrasi Negara (verwaltungsrecht),
meskipun dapat saja dilakukan, tidak lazim orang menggunakan istilah “ilmu”
Hukum Tata Negara atau “ilmu” Hukum Administrasi Negara.
Dari segi kemanfaatannya, hubungan antara Ilmu Negara
sebagai ilmu, jika dipelajari, dapat dikaitkan dengan pendapat Rengers Hora
Siccama yang membedakan antara kebenaran hakikat dari kenyataan sejarah.
Menurut Rengers Hora Siccama dalam buku Jimly Assiddiqie bahwa, tugas ahli
hukum dapat digolongkan, di satu pihak sebagai penyidik yang hendak mendapatkan
kebenaran obyektif, dan untuk itu ia tidak melaksanakan hukum itu sendiri.
Sedangkan, di lain pihak ada pula tugas ahli hukum sebagai pelaksana yang akan
mempergunakan hukum itu dalam keputusan-keputusan konkrit. Golongan pertama
disebutoleh Rngers Hora Siccama yaitu seorang ahli hukum sebagai penonton (de
jurist als toeschouwer), sedangkan yang kedua disebutnya ahli hukum sebagai
pemain (de jurist als medespeler). Sebagai penonton, seorang ahli hukum
lebih mengetahui kekurangan atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para
pemain dan mencoba mencari sebab musababnya dengan mengadakan analisa-analisa
tentang sesuatu peristiwa hukum untuk menentukan cara yang lebih baik dan lebih
sempurna mengenai bagaimana hukum dilaksanakan. Sedangkan dalam golongan kedua,
seorang ahli hukum diandaikan sebagai pemain (de jurist als medespeler)
yang harus memutuskan, baik yang bersifat pengaturan (regeling),
penetapan administrasi (beschikking), ataupun putusan peradilan (vonnis).
Oleh karena keputusan-keputusan dimaksud tergantung
kepada para pelaksana, maka tidak jarang terjadi bahwa keputusan yang dianggap
baik oleh pelaksana, tetapi sebaliknya dianggap tidak baik atau kurang memuaskan
bagi penerima keputusan itu, hal mana disebabkan karena danya sifat
subyektifisme dalam setiap keputusan tersebut. Sehubungan dengan pendapat
Rengers Hora Siccama itu, maka dapat diumpamakan yang pertama itu dengan tugas
Ilmu Negara yang tidak mementingkan bagaimana caranya hukum dijalankan, karena
Ilmu Negara meningkatkan nilai teoritisnya. Sedangkan sebaliknya, Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara lebih berkaitan dengan tugas ahli hukum
sebagai pemain (the player). Hal yang lebih dipentingkan adalah
nilai-nilai praktis dari kedua cabang ilmu ini, karena hasil penelitian ilmiah
dalam bidang hukum tata negara dan hukum administrasi negara itu secara
langsung dapat dipergunakan dalam praktik oleh para ahli hukum yang duduk
sebagai pejabat-pejabat negara dan pejabat pemerintahan menurut bidang tugasnya
masing-masing.
Di samping itu, perbedaan antara Ilmu Negara dengan Hukum
Tata Negara juga dapat dilihat dari segi obyek penyelidikannya. Jika obyek
penyelidikan Ilmu Negara adalah asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok
tentang negara dan hukum negara pada umumnya, maka obyek Hukum Tata Negara
sebagai ilmu adalah hukum positif yang berlaku pada suatu waktu di suatu
tempat. Oleh karena itu lazim disebut Hukum Tata Negara positif sebagai Hukum Tata
Negara Indonesia atau Hukum Tata Negara Inggris, Amerika, Jepang, Belanda dan
sebagainya. Sehingga, pada umumnya, di kalangan ahli hukum tata negara timbul
kecenderungan sangat nasionalitas dan dogmatis karena sangat terpaku kepada
norma hukum dasar positif yang berpuncak kepada konstitusi. Hukum Tata Negara
cenderung hanya dilihat dalam konteks yang positivistik dengan agak mengabaikan
pentingnya penyelidikan ilmiah yang bersifat universal yang biasa dibahas dalam
konteks Hukum Tata Negara Umum.Dikarenakan Ilmu Negara sangat penting bagi ilmu
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, maka dengan bantuan Ilmu
Negara, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dapat memperoleh ciri
ilmiahnya yang penting. Ilmu Negara sangat mementingkan nilai teoritisnya
sehingga disebut sebagai suatu Seinswissenschaft, sedangkan Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara merupakan suatu Normativen Wissenschaft.
Bagi mereka yang mempelajari Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
sudah tidak perlu diterangkan lagi secara mendalam mengenai arti dan asas dari
negara dan hukum negara, karena semua hal itu sudah dianggap diketahui ketika
mempelajari Ilmu Negara. Oleh karena itulah oleh para ahli dikatakan bahwa Ilmu
Negara merupakan ilmu pengetahuan pengantar bagi mereka yang hendak mempelajari
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.
Dalam bukunya yang lain, van Vollenhoven membagi Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara agak berbeda dari bukunya yang
terdahuku. Menurut pendapatnya, semua peraturan yang sejak berabad-abad lamanya
tidak termasuk ke dalam lingkup hukum tata negara materil, hukum perdata
materil, ataupun hukum pidana materil seharusnya dimasukkan dalam cabang hukum
administrasi negara. Dengan demikian, van Vollenhoven mengartikan Hukum
Administrasi Negara meliputi seluruh kegiatan negara dalam arti luas, tidak
hanya terbatas pada tugas pemerintahan dalam arti sempit saja. Hukum
Administrasi Negara itu, menurutnya, juga meliputi tugas peradilan, polisi, dan
tugas membuat peraturan. Menurutnya, Hukum Administrasi Negara dalam arti luas
itu dapat dibagi dalam 4 (empat) bidang, yaitu:
1) bestuursrecht (hukum pemerintahan);
2) justitierecht (hukum peradilan);
3) politierecht (hukum perundang-undangan).
Menurut para sarjana, pandangan van Vollenhoven mengenai
Hukum Administrasi Negara tersebut sebenarnya dapat dibagi dalam 2 (dua)
pengertian yaitu:
1) Hukum Administrasi Negara dalam arti klasik; dan
2) Hukum Administrasi Negara dalam arti modern.
Pada perumusan pertama, yaitu Hukum Administrasi Negara
dalam arti klasik, van vollenhoven masih diliputi oleh suasana kehidupan
kenegaraan yang menganut paham liberal (liberale rechtstaatsgedachte)
yang dipengaruhi oleh Emmanuel Kant di mana negara tidak boleh mencampuri
kepentingan-kepentingan individu, melainkan tugas negara hanyalah sebagai
penjaga malam (nachtwachtersstaat atau l’etat Gendarm). Sementara
itu, ketika van Vollenhoven mengembangkan pandangan kedua, praktik kenegaraan
tengah diliputi oleh suasana baru dengan berkembangnya pemikiran mengenai
negara kesejahteraan atau welfare state (welvaarrtsstaat-gedachter).
Dalam bukunya yang kedua sebagaimana dalam bukum Jimly Assiddiqie dinyatakan: “Staatssorganen
zonder staatsrecht is vleugellan, want hun bevoegheid antbreek of is onzeker
Staatsorganen zonder Administratiefrecht is vluegelvrij, want zij kunnen hun
bevoegdheid niet zo toepassen als zii self it lieftst wille”.
Badan atau organ-organ negara tanpa hukum tata negara
akan lumpuh bagaikan tanpa sayap, sebab organ-organ itu tidak mempunyai
wewenang sehingga keadaannya tidak menentu. Sebaliknya, badan-badan negara
tanpa Hukum Administrasi Negara menjadi bebas tanpa batas, sehingga mereka
dapat berbuat menurut apa yang mereka kehendaki.
Maksud van Vollenhoven pada karangannya yang pertama itu
bahwa badan Hukum Administrasi Negara diadakan untuk mengekang pemerintah
sesuai dengan prinsip liberal yang hidup pada waktu itu. Sedangkan pada bukunya
yang kedua, Hukum Administrasi Negara tidak bermaksud hanya mengekang
pemerintah agar jangan bertindak sewenang-wenang dengan kekuasaannya, melainkan
memberi keleluasaan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kepentingan
rakyat, bahkan juga menentukan kewajiban-kewajiban kepada rakyat sesuai dengan
faham kesejahteraan yang dianut oleh negara (welvaartstaatsgedachte).
Dalam menyelenggarakan kepentingan umum, ada kalanya
Negara harus melanggar hak rakyat, misalnya menyita untuk kepentingan umum (onteigening
ten algemene nutte).
Dikarenakan negara memerlukan pembuatan jalan agar
hubungan antara dua tempat itu lebih lancer, maka Negara terpaksa mengambil
sebagian tanah rakyat untuk kepentingan tersebut. Lazimnya penyitaan ini
dilakukan dengan ganti rugi kepada rakyat yang bersangkutan. Dapat pula
misalnya Pemerintah memberi konsesi atas nama perusahaan-perusahaan (nuts-bedrijven)
untuk kepentingan umum.
Sementara itu, Logemann dalam bukunya “Over de theorie
van en stellig staatsrecht” mengadakan perbedaan yang tajam antara Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Untuk membedakannya, Logemann
bertitik tolak dari sistematika hukum pada umumnya yang meliputi tiga hal,
yaitu:
1)
ajaran
tentang status (persoonsleer);
2)
ajaran
tentang lingkungan (gebiedsleer);
3)
ajaran
tentang hubungan hukum (leer de rechtsbetrekking).
Berhubung Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
merupakan suatu jenis hukum yang tersendiri (als byzonder sort van recht)
yang mempunyai obyek penyelidikan hukum, maka sistematika hukum pada umumnya
dapat diterapkan pula terhadap Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.
Sistematika yang dibuat oleh Logemann dalam bukunya itu, dibagi sebagai
berikut:
1)
Hukum
Tata Negara dalam arti sempit meliputi:
a. persoonsleer yaitu mengenai persoon dalam arti hukum yang meliputi hak dan
kewajiban manusia, personifikasi, pertanggungjawaban, lahir dan hilangnya hak
dan kewajiban tersebut, hak organisasi, batasan-batasan dan wewenang;
b. gebiedsleer, yang menyangkut wilayah atau lingkungan di mana hukum itu berlaku dan
yang termasuk dalam lingkungan dimaksud adalah waktu, tempat, manusia atau
kelompok, dan benda.
2) Hukum Administrasi Negara
meliputi ajaran mengenai hubungan-hubungan hukum (leer der
rechtsbetrekkingen).
Dengan demikian
menurut Logemann Ilmu Hukum Tata Negara itu mempelajari:
a. jabatan apa yang terdapat di dalam susunan kenegaraan
tertentu;
b. siapa yang mengadakannya;
c. bagaimana cara melengkapi mereka dengan pejabat-pejabat;
d. apa yang menjadi tugasnya (lingkungan pekerjaannya);
e. apa yang menjadi wewenangnya;
f. perhubungan kekuasaannya satu sama lain;
g. di dalam batas-batas apa organisasi negara (dan
bagian-bagiannya) menjalankan tugasnya.
Hukum Administrasi Negara mempelajari jenis, bentuk,
serta akibat hukum yang dilakukan oleh para pejabat dalam melakukan tugasnya.
Selain van Vollenhoven dan Logemann, sarjana ketiga yang
biasa dijadikan rujukan dalam persoalan ini adalah Stellinga dalam bukum Jimly
Assiddiqie, yang membedakan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
secara tegas. Dalam pidatonya yang berjujdul “Systematische
Staatsrecht-studie”, dikemukakan bahwa tidak hanya di dalam Hukum Tata
Negara saja diadakan sistematika, tapi juga dalam Hukum Administrasi Negara.
Dalam bukunya yang lain yaitu yang berjudul “Grondtrekken
van het Nederlandsch Administratierecht”, Stellinga berusaha untuk menemukan
perbedaan prinsipil antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara,
seperti yang sudah dilakukan oleh gurunya yaitu van Vollenhoven. Stellinga
mengemukakan bahwa kebanyakan penyelidikan tentang tentang Hukum Administrasi
Negara tidak meliputi keseluruhannya, melainkan hanya membicarakan beberapa
bagian tertentu saja. Bagian-bagian ini dibicarakan secara terpisah yang hanya
sebagai monographi. Ia baru menjadi sistematika, jika bagian-bagian di dalamnya
diletakkan pada tempatnya yang tepat. Dengan demikian, Hukum Administrasi
Negara tidak lagi merupakan suatu kumpulan monographi-monographi, melainkan
merupakan sistematika yang menghubungkan bagian satu dengan bagian yang
lainnya, yang masing-masing bagian itu diletakkan dalam tempatnya yang tepat.
Arti sistematika di sini adalah waar de delen zijn juiste plaats vindt.
Sebenarnya, Logemann juga mempunyai pendirian yang sama dengan Stellinga
mengenai soal ini.
Di samping itu, juga terdapat Hukum Administrasi Negara yang
berlaku bagi para individu dalam masyarakat yang diperintah oleh negara.
Kita harus menyadari bahwa masih banyak hal lain yang
diatur oleh Hukum Tata Negara selain hanya soal tugas dan wewenang dari
alat-alat atau organ-organ negara. Dalam Hukum Tata Negara, baik menurut
Stellinga maupun menurut Hans Kelsen, seorang warga negara pun mempunyai hak
dan kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pendek kata, seperti
dikemukakan oleh Hans Kelsen, bahwa kriteria terpenting adalah ada tidaknya (i)
norm creating function, dan (ii) norm applying function yang
terkait dengan hukum tertentu. Jika kedua fungsi itu ada, maka menurut Hans
Kelsen, subjek hukum yang menyandangnya dapat disebut sebagai organ atau
state organ.
Sarjana lain yang tidak membedakan antara Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara secara tajam di antaranya adalah
kranenburg, van der Pot, dan Vegting dalam buku Jimly Assiddiqie.
Kranenburg berpendapat bahwa pembedaan antara kedua cabang ilmu pengetahuan itu
secara tajam, baik karena isinya ataupun karena wataknya yang berlainan,
merupakan sesuatu yang tidak riil. Perbedaan itu menurutnya disebabkan oleh
pengaruh ajaran organis mengenai negara (organischestaats theorie) yang
timbul dalam ilmu pengetahuan medis yang membedakan antara anatomie dan
psikologi. Sistematika yang diambil dengan analogi kedua ilmu pengetahuan medis
itu sama sekali tidak tepat karena obyek keduanya memang tidak sama. Perbedaan
antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara itu tidaklah bersifat fundamental
dan hubungan antara keduanya dapat disamakan dengan hubungan antara Hukum
Perdata dan Hukum Dagang. Jika keduanya dipisahkan, maka hal itu semata-mata
karena kebutuhan akan pembagian kerja yang secara praktis diperlukan sebagai
akibat pesatnya perkembangan hukum korporatif dari masyarakat hukum
territorial. Di samping itu, materi yang diajarkan dalam pendidikan hukum
memang perlu dibagi sehingga mudah untuk dipelajari. Hukum Tata Negara dibagi
meliputi susunan, tugas, wewenang, dan cara badan-badan itu menjalankan
tugasnya, sedangkan bagian lain yang lebih terperinci itu dimasukkan dalam
bidang Hukum Administrasi Negara. Dengan demikian, pembedaan antara Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara itu dapat dikatakan bukanlah disebabkan
oleh karena alas an yang prinsipil, akan tetapi sekedar untuk kepentingan
pembagian kerja yang bersifat praktis belaka.
Van der Pot juga tidak membedakan secara tajam antara
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara karena perbedaan secara
prinsipil tidak menimbulkan akibat hukum apa-apa. Oleh karena itu pembedaan
dimaksud menurutnya tidaklah terlalu perlu. Jika pun hendak diadakan pembedaan
yang tegas di antara keduanya, maka hal itu hanya penting untuk ilmu
pengetahuan, bukan untuk kebutuhan praktik. Dengan pembedaan itu, para ahli
hukum dapat memperoleh gambaran mengenai keseluruhan sistem hukum dan rincian
pembedaan di antara unsur-unsurnya yang bermanfaat untuk diketahui.
Begitu pula Vegting ketika menyampaikan pidato jabatannya
dengan judul “Plaats en aard van het Administratiefsrecht”, seperti
halnya Kranenburg dalam “Het aglemene Nederlandsch Administratiefsrecht”,
menjelaskan bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara mempunyai
lapangan penyelidikan yang sama. Perbedaan keduanya hanya terletak pada cara
pendekatan yang dipergunakan oleh masing-masing ilmu pengetahuan itu mengadakan
penyelidikan ilmiah. Hukum Tata Negara berusaha mengetahui seluk beluk
organisasi negara dan badan-badan lainnya. Sedangkan, Hukum Administrasi Negara
menghendaki bagaimana caranya negara serta organ-organ negara itu menjalankan
tugasnya. Vegting tidak membedakan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara karena pembatasan wewenang (competentie afbakening) melainkan
karena caranya negara bertindak itu saja pun sudah merupakan pembatasan
wewenang juga. Artinya, bagi Vegting, Hukum Tata Negara mempunyai obyek
penyelidikan yang berkenaan dengan hal-hal yang pokok mengenai organisasi
Negara, sedangkan objek penyelidikan Hukum Administrasi Negara adalah
peraturan-peraturan yang bersifat teknis.
C. Hukum Tata
Negara dan Hukum Internasional Publik
Baik hukum tata negara maupun internasional publik,
sama-sama merupakan cabang hukum publik. Akan tetapi objek perhatian hukum
internasional publik sangat sangat berbeda dari objek perhatian hukum tata
negara. Hukum Tata Negara hanya mempelajari negara dari struktur internalnya,
sedangkan Hukum Internasional Publik mempelajari hubungan-hubungan hukum
antarnegara itu secara eksternal. Di samping itu, Hukum Internasional itu
sendiri, ada pula yang bersifat privat (perdata) di samping ada yang bersifat
publik. Tentunya yang mempunyai hubungan erat dengan ilmu Hukum Tata Negara
adalah cabang Hukum Internasional Publik.
Keduanya sama-sama menelaah dan mengatur mengenai
organisasi negara. Akan tetapi, Hukum Internasional mempelajari dan mengatur
mengenai hubungan-hubungan eksternal dari negara, sedangkan Hukum Tata Negara
berurusan dengan aspek-aspek hubungan yang bersifat internal dalam negara yang
dikaji. Misalnya, konsep kedaulatan yang dikaji oleh Hukum Internasional adalah
konsep kedaulatan yang bersifat eksternal dalam hubungan antarnegara, sedangkan
dalam Hukum Tata Negara yang dibahas adalah perspektif yang bersifat internal,
misalnya teori tentang kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, kedaulatan raja,
ataupun teori kedaulatan Tuhan.
D. Hukum Tata Negara Modern dan Hukum Tata Negara Underdeveloped.
Pembagian negara-negara ke dalam kategori modern (developed
country) dan traditional (underdeveloped country) dewasa ini yang
lazim digunakan ukuran ialah tingkat perkembangan ekonomi dan kemajuan
teknologi dari negara-negara bersangkutan. Menurut hemat saya hukum pun dapat
menjadi ukuran, kalau kita berpegang pada pendirian bahwa hukum merupakan
kebudayaan (bagian/hasil budaya) bangsa dan hukum mempunyai kaitan erat dengan
bidang-bidang kehidupan masyarakat sebagai suatu kebupatan sistem.
Di bagian ini saya mencoba memberanikan diri untuk
melihat ciri-ciri hukum tata negara modern dan hukum tata negara
underdeveloped.
Salah satu ciri hukum tata negara modern ialah adanya
Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif, Parlemen) yang menentukan dan mengawasi
peranan serta penggunaan kekuasaan negara, seperti ditulis oleh Logemann dalam
bukunya “Het Staatsrecht van Indonesia”; mansyaratkan adanya perwakilan rakyat
atau parlemen di dalam negara modern.
Richard Lowenthal dalam karyanya Government in the developing Countries
menyatakan bahwa tanpa adanya partisipasi rakyat, rasa bahwa rakyat menjadi
bagian dan mempunyai hubungan se-indentitas dengan negara, tidak mungkin
tercipta suatu negara modern, apalagi suatu negara dengan tugas pembangunan …
Pemerintah tradisional atau pemerintah jajahan tidak pernah membiasakan
penduduknya menganggap bahwa negara sebagian urusan mereka sendiri. Rakyat
tidak dipandang sebagai warga negara tetapi sebagai kawula negara sebagaimana
dalam tul;isan Miriam Boediardjo .
Untuk maksud tersebut di atas, oleh hukum tata negara
diadakanlah lembaga perwakilan rakyat dengan pemilihan umum secara berkala,
bebas dan rahasia, yang merupakan azas-azas pemilihan dengan syarat-syarat
demokrasi. Dengan pemilihan umum itu dapatlah diawasi (dikontrol)
penyelenggaraan kekuasaan negara.
Selanjutnya Jean Blondel dalam bukunya “An
Introduction to Comparative Government” memberikan suatu ukuran bagi negara
beradab sebagai berikut :
“The first is that of the creation and end of
governments: these two prints can be considered jointly; they are so important
that is has sometimes been suggested that ‘civilized’ government could be
defined by the extent to which the problem of “orderly” succession had been
solved”…
Berdasarkan pendapat Jean Blondel tersebut di atas, maka
penggantian pemerintahan, apakah berlangsung sesuai dengan aturan-aturan hukum
yang telah ditentukan dalam Hukum Tata Negara yang bersangkutan atau tidak,
ataukah dengan melalui kekerasan. Malah kedua faktor tersebut dapat menentukan
tipe suatu negara. Dengan demikian berakhirnya dan bermulanya jabatan tertinggi
kenegaraan suatu negara dapat diketahui
azas-azas hukum yang menguasai norma perpindahan kekuasaan negara (pemerintah)
dalam negara tersebut. Bahwa tentang kekerasan, paksaan dan ancaman suatu hal
yang pasti ada dalam setiap masyarakat atau negara manapun; baik negara modern
maupun tidak modern, namun demikian penggunaannya kekerasan, paksaan, harus
terarah menurut saluran yang legal, yang berarti bahwa norma-norma hukum
benar-benar ditaati baik perorangan/kelompok maupun negara.
Dalam hubungannya dengan paksaan dan kekerasan, menurut
Logemann bahwa satu-satunya monopoli yang telah dikerjakan oleh negara modern
ialah monopoli paksaan jasmani, dan jika negara modern itu berusaha mencaplok
keseluruhan kehidupan sosial maka itulah disebut “totaliter”.
Dengan demikian, maka pemaksaan yang dilakukan secara teratur untuk
menjamin pentaatan ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri, baik mengenai bentuk,
cara maupun alat pelaksanaannya.
Hal itu nampak dengan jelas dalam suatu negara yaitu bahwa paksaan biasanya berada ditangan negara dengan
alat-alat perlengkapannya.
Kekuasaan itu sendiri merupakan unsur mutlak bagi kehidupan masyarakat yang
tertib, bahkan setiap bentuk organisasi yang teratur. Akan tetapi karena sifat
dan hakekatnya, kekuasaan itu agar dapat bermanfaat harus ditetapkan ruang
lingkup, arah dan batas-batasnya. Inilah salah satu fungsi hukum tata negara
yaitu sebagai pengatur kehudipan manusia, terumana menciptakan dan memelihara
serta mengembangkan tertib masyarakat; untuk mencapai cita-cita bangsa dan
negara.